That Little Pain in Our Heart

Sampai detik ini, aku belum bisa menulis yang bukan tentang kamu. Sudahlah, aku tak perlu mempertanyakan pertanyaan basi itu lagi, “siapa sih kamu?”. Aku maupun kamu sama sama tak bisa menjawabnya, jadi, biar saja.
Saat ini, aku memang belum menulis yang indah tentangmu. Semua halaman disini penuh dengan kenangan, pahit, dan membawa sakit. Tapi percayalah, suatu saat aku pun ingin bisa dengan hati yang riang menulis sesuatu yang indah disini. Sesuatu yang membuatku tersenyum membacanya. Bukan yang membuat dadaku nyeri dan tiba tiba ingin meneteskan air mata.

Seandainya kamu membaca tulisan tulisanku, percayakah kamu aku benar benar sudah memegang tiket untuk pergi ke kotamu? Kota yang membuat hatiku seperti teriris setiap kali mengingatnya. Setiap kalinya membuat penyesalanku semakin dalam.
Namun aku ingin pergi kesana sekali lagi. Memastikan saat aku pergi, aku membawa pulang seluruh hati dan telah meninggalkan kata kata yang seharusnya kamu dengar. Supaya cukup sekali saja aku merasakan penyesalan seperti sekarang. Kamu, juga setuju kalau kali ini aku harus pergi kan? Jika bukan sekarang, aku mungkin akan kehilangan kesempatan ini selamanya.

Lagipula, aku kangen kamu.

Rasanya hidup ini sekarang seperti potongan puzzle. Satu sisi diriku ingin menyerah saja dengan kepingan puzzle ini. Sudah terlalu lelah. Dan satu sisinya lagi ingin meneruskan puzzle dan mengetahui akhirnya. Akankah akhirnya buruk? Kalau iya, apakah aku akan bertahan? Can I do it on my own?
I don’t know the answer. It’s all in the future.
It will be miserable or not, I’ll never know.

Kamu juga merasakannya kan? That little pain in our heart…
Saat kamu menyakiti aku, yang aku rasakan hanya sedih, marah, kecewa. Tanpa tahu bahwa kamu pun merasakkan sakit yang sama. Seperti aku sekarang, aku menyakitimu, aku pun merasakan hal yang sama. Neither being a victim nor an offender the pain is just the same.
Terlebih saat kita kembali, rasa sakitnya menjadi berkali kali lipat. Karena disaat itu kita menyadari hal hal yang kita lewati dulu. Sadar semuanya terlambat. Sadar semuanya tak bisa diulang lagi. Dan mulai berandai andai, disanalah tepatnya rasa sakit itu.

Sekarang aku mencoba semuanya. Aku lakukan berbagai hal untuk membuatmu mengerti. Namun, bukan karena aku mencoba, lalu dengan mudah aku akan dimengerti bukan? Pastilah sulit buatmu untuk mengerti semua yang kulakukan ini. Mencoba membuatmu mengerti memang bukan perkara sederhana.

Aku baru saja menonton sebuah drama, lagi. Membosankan. Tapi entah kenapa aku tetap menontonnya. Aku bahkan sudah menebak bagaimana akhir kisah pemeran utamanya. Tanpa kamu, hal membosankan seperti ini terasa berkali kali lipat jauh lebih membosankan.
Tapi ada sebuah monolog pemeran utama yang membuatku ikut menangis. Kira kira, ia berkata seperti ini, “cause the opposite of I Love You is not Hate nor Dislike, it’s I Loved You, in past tense”. Seperti menamparku. Jika kita bertemu nanti, jangan pernah mengetakan hal seperti ini. Aku lebih memilih kamu membenciku, ketimbang harus mendengar bahwa kamu dulu pernah mencintaiku.

Entah sampai berapa lama aku akan seperti ini. Entah sampai berapa lama akan menulis tentangmu dalam kesedihan seperti ini. Jika sampa nanti, waktu tak kunjung menyembuhkanku juga, maka biarlah. Aku rasa aku hanya perlu menahannya bukan :)