The Great Gatsby and Me

Aku ingat, disebuah malam minggu, temanku mengajakku menonton sebuah film. Katanya,aku pasti akan menyukai film ini. The Great Gatsby. Judul film yang akan kutonton bersamanya. Dia bilang, aku mirip dengan pemeran utamanya. Aku mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa? Aku membalas dengan sangkalan, bahwa aku jelas jelas tidak memiliki kemiripan dengan Leonardo DiCaprio. Aku wanita, Leonardo pria, kita beda ras, kemudian aku menganggap temanku sinting. Dan temanku membalas lagi, katanya aku yang sinting. Dia sedang membicarakan karakter Gatsby yang diperankan Lenardo. Kurasa ia benar, aku yang sinting. Tidak lagi menemukan korelasi dalam sebuah pembicaraan, tidak memakai logika, dan asal bicara. Benar benar sinting. Aku dan Gatsby, punya satu pemikiran yang sama, menurutnya. Dia pun mengutip kata kata Gatsby yang menurutnya mirip dengan pemikiranku.

Gatsby, on Nick’s assertion that he can’t repeat the past: “Can’t repeat the past?” he cried incredulously. “Why of course you can“”

*sumber quote*

Setelah mengenang momen itu, aku beranjak dari tempat dudukku. Berjalan ke arah jendela, dan lagi lagi terhempas ke folder memori yang lain. Kamu.
Kamu yang sedang kita bicarakan.
Setelah semuanya, aku ingin tidak mengingat kamu lagi. Mengingatmu, membuatku menghela nafas berat, tak sanggup menopang diriku saat berdiri, dan mataku terasa panas. Aku cepat cepat meringkuk lagi di tempat tidurku.

Gatsby, masa lalu, kamu, semuanya berputar putar di kepalaku. Sebelum menonton The Great Gatsby, aku tak sadar aku searogan itu. Menganggap bisa mengubah jalan masa lalu kita. Begitu yakin kita akan memiliki akhir yang berbeda. Lalu setelah melihat Gatsby, kupikir, betapa pathetic nya dia. Arogansinya meyakini bisa mengulang masa lalu, seperti hanya menutupi sisi hidupnya yang sepi dan menyedihkan. Lalu aku? Apa aku juga terlihat menyedihkan seperti aku melihat Gatsby?

Saat melihat Gatsby, sambil mendengar opini temanku, aku seperti sedang melihat diriku sendiri. Disetiap adegannya, aku menunggu, apa yang akan Gatsby katakan, apa yang akan ia lakukan. Aku menunggu nunggu,sambil berharap ia akan melakukan seperti yang aku pikirkan.Tentu saja aku dan Gatsby berpikiran yang sama. Dan setelah melihat reaksi Daisy, aku shock. Tidak percaya film ini berakhir begitu tragis. Lalu aku mulai berubah, aku bilang pada temanku, aku tak mau berakhir seperti Gatsby. Bantu aku.

Saat menulis ini, aku terhenti cukup lama setelah kata kata barusan. Bantu aku. Hahaha. Aku pernah meminta yang sama padamu.
Masa lalu, siapa yang bisa mengulangnya? Aku jadi pesimis. The Great Gatsby mengubah pemikiranku. Aku jadi penakut sekarang. Aku seperti terbelah menjadi dua sisi, dimana yang satunya masih benar benar menginginkanmu, dan satu lagi sudah menyerah terhadapmu. Yang menyerah bilang, sudahlah, biarkan kamu jadi bagian masa laluku. Diam, terpaku disana, dan kalau bisa tak akan pernah datang lagi. Diam, disana jadi bagian dari ceritaku, jadi pelajaran, menjadi momen yang ada hanya iuntuk dikenang, tak lebih. Sedangkan sisi satunya seperti tak kenal kapok, masih terus ingin mengejarmu. Masih yakin, bisa mengubah masa lalu, masih yakin, bisa merancang masa depan untukkita, hanya kita.

Aku menulis untuk menjaga kewarasanku. Seperti yang temanku bilang, aku sinting. Aku tidak mau jadi lebih sinting dari ini. Baru kali ini dalam hidupku, aku benar benar memikirkan apa itu kewarasan. Baru kali ini aku serasa berada diambang waras dan tidak. Aku, tidak mau jatuh dan jadi lebih sinting dari ini. Aku ingin sembuh. Orang lain menyebutnya move on. Aku, hanya ingin sembuh. Berhenti merasa sakit seperti sekarang. Berhenti merasa sesak tiap kali bangun tidur dan mengingat momen bersama kamu.